Nasional

Efektifkah Lumbung Pangan di Bekas Lahan Gambut?

Oleh Erwin Dariyanto, Detik.com - 4 Feb 2021

Apakah rencana pemerintah untuk membangun lumbung pangan di bekas lahan gambut efektif?

Pesawat Kepresidenan yang ditumpangi Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mendarat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Kamis pagi 8 Oktober 2020 pukul 09.10 WIB. Tak menunggu lama, begitu mendarat rombongan Presiden Jokowi kemudian beralih ke Helikopter Super Puma milik TNI Angkatan Udara.

Ada tiga Helikopter Super Puma disiapkan untuk mengantar Presiden Jokowi dan rombongan pagi itu ke Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di sini tepatnya di area bekas lahan proyek lahan gambut (PLG) 1 juta hektar, di Jalan Katingan 3 Blok B Rey 20, Presiden mulai mencanangkan program Food Estate atau lumbung pangan.

Dalam pidato sidang tahunan MPR dan DPR, Jumat 14 Agustus 2020 lalu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Food Estate dibangun untuk memperkuat cadangan pangan nasional. Penguatan produksi pangan tak hanya di bagian hulu tetapi juga bergerak di hilir produk pangan industri. Nantinya program pertanian di kawasan Food Estate tak lagi dikerjakan dengan cara manual, namun sudah memanfaatkan teknologi modern.

"Di sini (area food estate) misalnya pemupukan kita memakai drone, untuk membajak sawah memakai traktor apung. Saya tanya tadi satu hari bisa berapa hektare? Operator mengatakan bisa 2 hektar. Inilah kecepatan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020)," kata Jokowi dalam keterangan tertulisnya, Jumat 9 Oktober 2020.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhy mengatakan penanaman perdana bagian dari proyek Food Estate sudah mulai dilakukan pada pekan kedua September lalu, di dua lokasi, yakni Pulang Pisau dan Kapuas. Di Pulang Pisau ada kurang lebih 1900 hektare, sementara di Kapuas 1.100 hektare.

Sarwo menegaskan bahwa tidak ada pembukaan lahan baru untuk proyek Food Estate ini. Penanaman perdana proyek ini dilakukan di lahan bekas PLG yang memang sudah dimanfaatkan oleh petani untuk menanam padi sebelumnya. Sebab, menurut dia, tujuan dari program Food Estate ini memang untuk meningkatkan produksi pertanian. "Yang biasanya mereka tanam sekali kita jadikan dua kali, yang dua kali kita jadikan tiga kali sehingga tambahan produksi mereka meningkat," kata dia.

Sementara untuk jenis padi yang ditanam dipilih yang sesuai dengan karakteristik lahan di area eks-PLG. Misalnya, varietas Impari 32, Impari 42, dan hibrida cukup adaptif dan berproduksi tinggi di lahan rawa. Namun ada juga jenis padi lain seperti IR 64 dan Ciherang. Kementerian Pertanian tidak menentukan jenis padi yang boleh ditanam petani di area Food Estate. "Tapi kami mengarahkan padi unggul bermutu, ada padi Impari 32, Impari 33," kata Sarwo.

Selain jenis padi yang ditanam di area Food Estate juga akan dilakukan perbaikan manajemen lahan, air, budidaya, panen dan pasca panen. Sarwo yakin bila semua ini berjalan dengan baik, bakal ada peningkatan produksi pangan minimal 35 persen yang didapat dari peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas tanaman.

Menurut Sarwo, saat ini provitasi petani di Kalimantan Tengah sebesar 2 sampai 3 ton per hektare. Kementerian Pertanian berniat mengubah mindset petani agar menanam padi unggul bermutu dan bersertifikat. Dengan begitu produksi padi bisa meningkat menjadi 5 sampai 6 ton per hektare.


Pada bulan Oktober ini rencananya juga akan kembali dilakukan penanaman padi di area seluas 12.966 hektare. Ditargetkan hingga akhir tahun 2020, ada kurang lebih 30.000 hektare area Food Estate di lahan eks-PLG sudah ditanami padi. Di mana 10.000 hektare berada di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektare sisanya berada di Kabupaten Kapuas.

 
 

Selain padi, ada juga komoditas lain, seperti bawang merah, jeruk, ikan dan itik. "Bila sesuai dengan waktu/jadwal tanam di lahan 30.000 hektar yaitu bertahap mulai bulan Oktober sampai dengan Desember 2020, maka kami optimis pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2021 kita sudah dapat panen padi dari lahan Food Estate," kata Sarwo.

Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah ini merupakan program pemanfaatan kawasan eks -PLG untuk mendukung ketahanan pangan. PLG atau Proyek Lahan Gambut satu juta hektare digagas oleh Presiden Soeharto pada tahun 1995. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 ditetapkan areal PLG terbagi menjadi lima wilayah blok. Blok A seluas 227.000 ha, Blok B seluas 161.480 ha, Blok C seluas 568.635 ha, Blok D seluas 162.278 ha, dan Blok E seluas 337.607 ha.


Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di area eks-PLG 1 juta hektare terdapat kurang lebih 295.500 hektare bisa dikembangkan. Namun dari jumlah tersebut yang potensial, -sudah ada cetak sawah dan jaringan irigasi- hanya sekitar 165.000 hektare. Dari jumlah tersebut lahan yang fungsional seluas 85.477 hektare dan sisanya dengan luas 79.385 hektare masih berupa semak belukar, perlu pembersihan atau land clearing.


Lokasinya food estate untuk tanaman padi rencananya berada di Palinggau, Pulang Pisau, Belanti, Pangkoh, dan Dadahup. Sementara untuk komoditas singkong direncanakan berada di Gunung Mas, Pulang Pisau, dan Kapuas.

Dikutip dari laman https://balittra.litbang.pertanian.go.id/ sejumlah area di kawasan eks PLG yang bakal digunakan sebagai lahan Food Estate tak aman dari bencana banjir. Desa Bina Jaya di blok A1 dan Harapan Baru blok A4 masuk dalam wilayah agak rawan banjir. Masuk kawasan rawan banjir antara lain desa Petak Batuah di blok A2 dan Bentok Jaya, Kecamatan Dadahup di blok A5. Lokasi yang dikategorikan sangat rawan banjir adalah desa Saka Binjai di blok A6, Bina Sejahtera blok A7, Sukareja blok A8, dan Suka Mukti kecamatan Kapuas Murung di blok A9.

Pemerintah melalui Kementerian PUPR terus melakukan berbagai upaya untuk pengendalian banjir di sejumlah area eks-PLG. Namun tak hanya banjir, sejumlah kawasan area eks-PLG juga rawan kebakaran. Pada 2015 terjadi kebakaran hebat di area eks-PLG akibat rusaknya lahan gambut. Jejak sisa kebakaran tersebut bisa dilihat dari peta yang diakses melalui platform Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut (PRIMS) berikut ini.

Data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah pada 2015 mencapai 583.833,44 hektare. Sebanyak 98.784,73 hektare di antaranya terjadi di area eks-PLG di Kabupaten Pulang Pisau, yang meliputi Kahayan Tengah 11.015,96 hektare lahan, Jabiren Raya 10.151,97 hektare, Kahayan Hilir 16.712,93 hektare, Maliku 6.871,20 hektare, Pandihbatu 5.800,04 hektare, Sebangau Kuala 30.424,60 hektare, dan Kahayan Kuala 17.17.808,30 hektare.

Dikutip dari https://satudata.kalteng.go.id/ sejumlah kawasan di area eks PLG hingga kini belum sepenuhnya bebas dari banjir dan kebakaran. Berikut ini data bencana banjir dan kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau.

Dikutip dari https://satudata.kalteng.go.id/ sejumlah kawasan di area eks PLG hingga kini belum sepenuhnya bebas dari banjir dan kebakaran. Berikut ini data bencana banjir dan kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau. Data rawan bencana provinsi Kalteng 2016 - 2020 kabupaten pulang pisauData rawan bencana provinsi Kalteng 2016 - 2020 kabupaten pulang pisau (sumber: satudata.kalteng.go.id)

Dan berikut ini data bencana di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Data rawan bencana provinsi Kalteng 2016 - 2020 Kabupaten Kapuas

Pakar pertanian yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengkritik proyek Food Estate di area eks-PLG. Sebab di area tersebut tidak memenuhi 4 pilar syarat sebagai lahan area Food Estate. Keempat pilar tersebut, pertama soal kelayakan lahan dan agroclimate. Kedua, kelayakan infrastruktur yang meliputi: jaringan irigasi, tata kelola air, jaringan transportasi.

 
 

Pilar ketiga, kelayakan teknologi dan keempat persyaratan sosial ekonomi. "Nah di area eks PLG yang memenuhi 4 pilar tersebut sangat kecil. Sehingga pemerintah hanya buang-buang uang di wilayah tersebut untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya," kata Andreas.

Dia pun mengingatkan agar pemerintah tak terlalu berharap banyak di area eks-PLG. Sebab kawasan tersebut yang bisa digunakan sebagai area pertanian tidak banyak. Bahkan jumlahnya diperkirakan tak bisa mencapai ribuan hektare. Di Dadahup, Pulang Pisau misalnya, dari hasil foto udara terlihat hanya 1,2 persen wilayahnya yang ada jaringan irigasinya.

Kritik juga disampaikan Alma Alventa PHD, pemerhati lingkungan gambut di Kalimantan Tengah yang meraih gelar Phd di bidang Kualitas Sumber Daya Air dari Universitas Manchester, Inggris. Menurut dia program Food Estate di kawasan eks-PLG ini bertolak belakang dengan rencana awal pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait program restorasi gambut.

Dia ingat betul setelah terjadi kebakaran hebat di kawasan eks-PLG pada 2015, Presiden Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Tujuannya untuk mengembalikan ekosistem gambut ke fungsi awal sehingga tidak terjadi kebakaran dan bencana lainnya di kawasan eks-PLG.

BRG pun, lanjut Alma, sudah mengeluarkan peta restorasi gambut. Namun di tahun 2020 ini, pemerintah justru membuat kebijakan membuka lahan pertanian di area eks-PLG yang rencana awal 900 ribu hektar, kemudian berubah menjadi 300 ribu hektar dan terakhir turun lagi jadi
160 ribu hektare.

"Ini 180 derajat (berubah) dari arah posisi kondisi lahan eks PLG yang diarahkan untuk restorasi sesuai aslinya," kata Alma dalam sesi Webbinar dengan tema, Food Estate Reborn 2020, Untuk Siapa? yang diselenggarakan Pantau Gambut pada 19 September 2020.

Padahal sebelum ada rencana proyek Food Estate, area eks-PLG sudah mengalami banyak masalah akibat rusaknya lahan gambut. Salah satunya akibat adanya konsesi lahan sawit, terjadi penurunan muka tanah atau Subsidence di area eks-PLG. Penurunan itu terjadi setiap tahun dan bisa semakin cepat sehingga tanah makin rendah dan kian rawan banjir serta instrusi air laut.

"Di Dadahup sudah terjadi subsidence (penurunan muka tanah) sehingga sering terjadi banjir yang mengakibatkan gagal panen," kata Alma.

Kritik atas proyek Food Estate juga disampaikan oleh Muliadi dari Yayasan Petak Danum. Menurut dia ekosistem gambut di sekitar area eks-PLG rusak akibat pembangunan dan rehabilitasi kanalisasi. Akibatnya di daerah tersebut kini rawan dan sering terjadi banjir. Ditambah sejak 2004 lalu terjadi alih fungsi beberapa lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Rusaknya ekosistem gambut menyebabkan munculnya bencana kebakaran dan banjir. "Banjir, dulu banjir tidak selama sekarang. Sekarang 3 sampai 4 bulan masih banjir," kata Muliadi.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementerian Pertanian Sarwo Edhy memastikan bahwa proyek Food Estate di area eks-PLG sudah melalui studi mendalam. Salah satu studi menunjukkan bahwa lahan Food Estate yang sedang digarap berada di lahan yang berupa rawa rawa dengan kedalaman di bawah 1 meter. "Kami sudah melakukan studi bahwa lahan-lahan yang sudah kita garap itu tidak mengganggu lahan gambut," kata Sarwo kepada detikFinance.

Menurut dia justru lahan yang diolah tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi daerah yang selama ini rawan terjadi kebakaran. "Sehingga ke depan diharapkan tidak ada kebakaran-kebakaran lagi seperti tahun lalu," kata Sarwo.

PRIMS Gambut menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman Anda. Dengan memakai situs ini, Anda kami anggap telah mengerti & menyetujui kebijakan cookies kami. 

Lanjutkan