Nasional

Manfaatkan Air Hujan Dorong Restorasi Ekonomi (T4)

Oleh Joko Susanto, World Resources Institute - 9 Apr 2020

Sebelum program revitalisasi ekonomi yang dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG) warga Desa Air Hitam Laut memanfaatkan air dengan menampung air hujan.

Junaidi mengatakan air yang diperoleh dari hujan dan parit itu biasanya langsung dimanfaatkan, tanpa disaring. Tetapi, perjuangan bertahun-tahun mencari air bersih itu berubah pada 2018. 

BRG memberikan bantuan alat penyaring air. “Bantuan berupa penyaring air RO dan Oxy. Alhamdulillah kualitasnya sudah layak minum,” ucap dia.

Junaidi mengatakan program pemurnian air ini dimulai dengan membuat sumur bor. Kelompok Porja yang dia komandoi mendapat bantuan pendanaan dari pemerintah desa.

Dari bantuan ini, Junaidi dan 14 orang remaja mendirikan depot air isi ulang dan mulai berjalan pada November 2019. Kini setelah setahun berjalan depot air bikinan Porja telah menuai hasil. 

Dengan harga jual Rp 10 ribu per isi ulang, Junaidi mengatakan keuntungan yang didapat dari bisnis air isi ulang mencapai puluhan juta.

“Pada Agustus-September itu omzetnya kurang lebih Rp 30 juta. Kalau keseluruhan pengeluaran hampir Rp23 juta,” ucap dia.

Junaidi mengatakan, mendengar omzet itu banyak warga yang terinspirasi membuka depot air isi ulang. Kini, kata dia, terdapat tiga depot yang kepemilikannya pribadi.

Meski mendapat saingan bisnis, Junaidi bersyukur. Sebab, usaha depot air itu dapat membuka lapangan kerja baru. “Mereka yang belum  mendapat pekerjaan, bisa masuk ke depot-depot itu,” ujar dia. 

Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di Riau 997.292 hektar, Jambi 200.772 hektar, Sumatera Selatan 656.884 hektar. Kemudian Kalimantan Barat 149.901 hektar, Kalimantan Tengah 567.026 hektar, Kalimantan Selatan 56.487 hektar dan Papua 39.239 hektar.

Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di

  • Riau 997.292 hektar,
  • Jambi 200.772 hektar,
  • Sumatera Selatan 656.884 hektar.
  • Kalimantan Barat 149.901 hektar,
  • Kalimantan Tengah 567.026 hektar,
  • Kalimantan Selatan 56.487 hektar dan
  • Papua 39.239 hektar.

Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di

  1. Riau 997.292 hektar,
  2. Jambi 200.772 hektar,
  3. Sumatera Selatan 656.884 hektar.
  4. Kalimantan Barat 149.901 hektar,
  5. Kalimantan Tengah 567.026 hektar,
  6. Kalimantan Selatan 56.487 hektar dan
  7. Papua 39.239 hektar.

Heading 2

Sampai akhir 2019, luas lahan gambut sudah diintervensi BRG 778.181 hektar. Di Riau (93.751), Jambi (86.125), Sumatera Selatan (142.606), Kalimantan Barat (47.521). Lalu, Kalimantan Tengah 399.657 hektar, Kalimantan Selatan (7.421) dan Papua 1.100 hektar. Luas yang difasilitasi BRG 509.709 hektar, dan berkoordinasi dengan mitra 268.472 hektar.

Darmae Nasir, Kepala Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) mengatakan, ,tugas pemulihan gambut oleh BRG dalam lima tahun masih belum bisa selesai. Untuk itu, katanya, perlu waktu agar pemulihan gambut dapat berjalan lebih optimal.

“Karena yang dikerjakan BRG itu kan bukan cuma pemulihan dari biofisik, juga ada aspek manusia, ada sisi humaniora dan ekonomi yang dipulihkan,” katanya saat dihubungi Mongabay, awal September.

Begitu kompleks urusan, hingga BRG masih menginventarisasi permasalahan dan berupaya menemukan metode kerja yang tepat selama lima tahun ini. Belum lagi soal kelembagaan dan koordinasi.

Pada masa perpanjangan, katanya, dia prediksi kerja BRG akan banyak berfokus di tingkat tapak. Dia bilang, salah satu agenda kerja tingkat tapak harus didorong adalah revegetasi yang selalu melibatkan masyarakat lokal.

“Saya kira metode BRG sudah baik dalam hal revegetasi, karena mereka berhasil menerapkan paludiculture di beberapa tempat,” kata Darmae.

Tidak hanya itu, penentuan komoditas yang ditanam pun merupakan perpaduan antara masukan masyarakat dan saran BRG. Perpaduan ini penting, karena di satu sisi jenis yang harus ditanam khas gambut, sisi lain masyarakat menginginkan tanaman yang menghasilkan ekonomi jangka pendek.

Jadi, katanya, kemampuan mengakomodasi antara dua kepentingan ini jadi salah satu keberhasilan. Ia menyasar dua aspek, ekonomi dan pemulihan kawasan. Di kawasan gambut, katanya, merupakan lokasi kemiskinan berada.

“Pertanian areal gambut tidak terlalu produktif, akhirnya itu yang picu kemiskinan dan sebagainya. Itu sebabnya masyarakat butuh sesuatu yang cepat (menghasilkan),” katanya.

Perlu penguatan

Darmae juga menyarankan, peran BRG lebih diperkuat lagi baik secara birokrasi dan regulasi. Dia melihat selama ini ada komunikasi tak berjalan baik antara BRG dengan mitra kerja di level pemerintahan ataupun dengan sektor swasta.

Something alt text
Pinang ditanam di sepanjang parit di rawa gambut di Desa Gelebak Dalam, Banyuasin, Sumsel, sebagai wilayah kebun palawija. Foto: Dok. Desa Gelebak Dalam

Dengan kementerian atau lembaga lain, dia melihat sinergitas maupun komunikasi berlangsung belum padu. Satu contoh, di lapangan, katanya, seringkali BRG dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selisih paham.

Heading 3

“Misal, BRG sudah sekat salah satu kanal, ternyata tidak jauh dari situ (kementerian) PUPR malah menggali kanal baru. Jadi apa gunanya kerjaan itu?” katanya.

Seharusnya, kata Darmae, hal seperti itu bisa diatasi dengan komunikasi yang baik hingga restorasi gambut bisa berjalan dengan visi sama.

PRIMS Gambut menggunakan cookies untuk meningkatkan pengalaman Anda. Dengan memakai situs ini, Anda kami anggap telah mengerti & menyetujui kebijakan cookies kami. 

Lanjutkan