Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat merupakan daerah pemekaran yang dengan lahan banyak terbebani perizinan sawit. Kebun-kebun sawit skala besar ini masuk ke wilayah-wilayah hidup warga, hingga terjadi perubahan pola produksi. Mereka yang dulu hidup dari bertani atau berkebun maupun mencari ikan kini sebagian jadi pekerja sawit, terutama perempuan paling banyak jadi buruh.
Syarifah, warga Desa Tanjung Bunga, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, pernah jadi buruh perkebunan sawit. Beban kerja berat, terpapar zat berbahaya, bahkan tangan lecet dan melepuh. Dia tak sanggup lagi jadi buruh harian di perkebunan sawit. Syarifah pun beranikah diri merantau ke Kota Pontianak.
“Jadi buruh sawit itu berat,” katanya.
Keluarganya,banyak jadi buruh sawit. Dari kedua orangtua, saudara perempuan, dua saudara lelaki, paman, bibi sampai keponakan jadi buruh sawit. Mereka tak ada kontrak kerja.
Dia mengikuti jejak kedua orangtua jadi buruh sawit. Awal ikut kerja, saat Syarifah usia 14 tahun, sekitar 12 tahun lalu. Kala itu, tugasnya, mengisi bibit ke polybag. Kerja dari pagi sampai sore dengan bayaran per polybag. Saat itu, kerjaan tak berat bahkan dia senang karena usia belasan sudah bisa punya uang dari hasil kerja. Dia putus sekolah. Menulis dan membaca pun tak lancar.
Setelah agak besar dia jadi buruh harian. Tugas Syarifah bagian perawatan dari menyiangi gulma dalam piringan sawit, menebas rumput di sekitar sawit, membasmi tikus, dan pemupukan.
Saat itu,dia terima Rp60.000 per hari. Pekerjaan begitu berat. Tangan Syarifah kadang lecet dan melepuh setelah menebas rumput. Dia juga jadi pemungut brondol sawit agar ada tambahan pemasukan.
Brondol ini berupa buliran buah sawit yang jatuh atau terlepas dari tandan. Satu karung dihargai Rp4.000. Sehari bisa 20-30 karung brondol dengan bayaran per bulan.
Hasil kerja Syarifah untuk membantu ekonomi keluarga. Dulu, ayahnya punya kapal kecil untuk mencari ikan di sungai dengan perangkap dari bambu. Air sungai keruh, ikan pun makin sulit. Akhirnya, sang ayah pun jadi buruh sawit di perusahaan.
Kerja berat di perkebunan, tidak sesuai dengan fisik ayahnya yang lemah. Dia pun tak diangkat jadi buruh tetap, alias jadi buruh harian.
Setelah ibunya meninggal, dia tanggung jawab lebih lagi untuk menopang ekonomi keluarga. Walau berat, dia pun terus jadi buruh perkebunan sawit.
Kondisi hidup tak berubah. Syarifah pun bertemu pasangan dan menikah. Berharap, bisa lepas dari kesulitan hidup, dia pindah ke Kota Pontianak, sekaligus mengikuti suami yang bekerja sebagai buruh bangunan.
Aminah, perempuan Desa Tanjung Bunga yang lain, masih jadi buruh harian perkebunan sawit. Dia bilang, kerja paling berat adalah pemupukan dan penyemprotan hama. Dia harus memikul karung pupuk yang berat, tambah lagi dengan menyemprot insektisida.
Usai menyemprot, biasa tangan Aminah gatal-gatal, meski sudah pakai sarung tangan. “Tangan ini gatal dan perih. Untuk mengobatinya, saya tidak ke puskesmas. Dioles saja dengan minyak kelapa sebelum tidur,” katanya.
Perusahaan tak menanggung biaya penyakit Aminah, karena buruh harian lepas. Dia tak pernah tanda tangan kontrak kerja.
Aminah mendapat upah Rp80.000 per hari. Khusus penyemprotan, dia dapat upah berdasarkan berapa tabung semprot yang berhasil dihabiskan. Satu tabung, Rp15.000.
Setiap pagi, sebelum bekerja di perkebunan, dia juga mengerjakan pekerjaan domestik di rumah dulu, seperti memasak, mencuci piring, dan baju ditambah memberi makan ayam. Suaminya kerja borongan di perkebunan yang sama.
Mereka punya tiga anak. Satu masih balita dan diasuh tetangga. Setiap gajian, Aminah harus bayar pengasuh Rp200.000.
Tak jauh beda dengan Misni, warga Desa Tanjung Bunga juga buruh harian perkebunan sawit. Saban hari sebelum bekerja, dia mengurus dapur sampai keperluan empat orang anaknya. Anak sulung lelaki, juga sebagai buruh sawit.
Misni jadi pekerja borongan di perkebunan sawit. Hasilnya, bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Suaminya mengurus kebun karet milik sendiri.
“Kalau mupuk sistem karung (bayaran) per karung Rp12.000, nyemprot per kep Rp10.000 (ukuran botol semprot), untuk brondol, per karung Rp20.000,” kata Misni.
Satu kep tangki penyemprotan ukuran 15 liter pestisida.
Manisah, Ketua PKK Desa Sungai Deras, mengatakan, banyak perempuan di Kecamatan Teluk Pakedai, Kubu Raya, bekerja di perkebunan sawit sebagai buruh harian lepas. Walau demikian dia tak tahu jumlah pastinya. “Tidak ada catatan, tapi rata-rata kerja sawit.”
***
Manisah, bersama rekan-rekannya sedang mengolah tanah bakar untuk tanam cabai. Harganya tengah bagus di pasaran. Hitung-hitung menambah kas organisasi.
Hanya enam anggota PKK turun ke lahan percontohan itu. Perempuan desa lain tak bisa ikut karena harus sedang bekerja sebagai buruh di perusahaan sawit.
“Mereka tak mau kehilangan duit hanya untuk menanam cabai di demplot. Untuk kegiatan apapun, partisipasi perempuan cukup rendah,” katanya.
Warga sekitar pun rata-rata bekerja di perusahaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, selain pemasukan dari kebun-kebun sawit mereka.
Rata-rata warga memiliki lahan sawit. Luasan macam-macam. Ada juga sistem bagi hasil. Warga yang mengikuti skema bagi hasil mendapatkan ‘kartu’.
Setiap kartu mewakili luasan lahan. Makin luas, kartu makin banyak. Ternyata pembagian tak seberapa. Satu kartu, kata Manisah, ada yang dapat Rp75.000 per bulan. Warga pun masih bekerja dengan perusahaan.
“Saya kebetulan punya tiga kartu. Dulu, punya enam, warisan dari orangtua. Kartu itu saya juga. Satu kartu untuk kapling, sekitar dua hektarlah,” katanya.
Linda, Wakil Ketua PKK Desa Sungai Deras, menambahkan, wilayah kelola masyarakat selain kebun sawit adalah lahan sawah. Padi, kebanyakan untuk makan keluarga saja.
Manisah, Linda dan beberapa anggota PKK tidak jadi buruh sawit. Manisah, adalah istri Selamet Karyanto, Kepala Desa Sungai Deras, sedangkan Linda, adalah istri dari Ketua Koperasi Sawit di desanya.
Kehadiran perusahaan Disisi lain, bekerja di perusahaan sawit membawa perubahan ekonomi bagi masyarakat. Setiap hari mereka bisa memegang uang tunai. Maimunah, warga desa lain, mengatakan, dulu untuk dapatkan uang tunai harus menunggu buah pinang, atau kelapa laku terjual.
Uang tunai itu sebenarnya sudah cukup untuk hidup di desa. Namun, katanya, , warga banyak gunakan upah untuk kredit konsumtif. Ada kredit motor, kredit peralatan elektronik, bahkan membangun rumah mereka menjadi permanen.
“Kalau tak kerja sawit. Rumah mungkin masih papan,” kata Maimunah.
Julia, peneliti isu buruh perempuan sawit untuk Sajogyo Institute, pada 2014, mendapati fakta, bahwa, para perempuan ini bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan keselamatan.
Pekerjaan kasar ini, katanya, tetap mereka kerjakan untuk menambah penghasilan keluarga. Walau umumnya mereka punya lahan sawit sendiri dengan luasan beragam.
Bayu Sefdiantoro, Project Manager LinkAr Borneo, menyadari betapa para buruh perempuan dalam bahaya karena terpapar zat kimia.
Pada 2018, katanya, Ibu Laonmeninggal dunia diduga kuat karena terpapar zat kimia terlalu lama.
“Dia warga Desa Pasir Putih. Bekerja sebagai buruh penyemprot hama, sejak perusahaan masuk ke desanya,” kata Bayu.
Dari data Dinas Perkebunan Kalimantan Barat tahun 2013, sebelum menjadi kabupaten pada 2007, Kubu Raya, bagian dari Kabupaten Pontianak. Izin konsesi untuk korporasi telah diberikan sejak kabupaten itu belum pemekaran.
Data Dinas Perkebunan Kalbar 2013 mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kubu Raya 266.506.29 hektar dari 33 perusahaan.
Satu contoh, Desa Sungai Deras dan Desa Sungai Bemban, Kubu Raya di kelilingi tiga korporasi, yakni, PT Rezeki Kencana milik Tianjin Joulong Group, PT Mitra Aneka Rezeki, anak perusahaan PT Pasifik Agro Sentosa (PAS Group). Lalu, usaha Artha Graha Group dan PT Sintang Raya, grup Miwon.
Izin lokasi Mitra Aneka berdasarkan Keputusan Bupati No. 244/2007 untuk lahan seluas 18.500 hektar bruto. Setelah proses penataan batas kawasan hutan lindung dan juga areal-areal lain dengan mengeluarkan dari izin, maka luasan bersih konsesi 14.060, 69 hektar. Desa Sungai Bemban berada di dalam HGU korporasi ini.
Perusahaan ini berbatasan dengan kawasan lindung yang termasuk rangkaian Gunung Ambawang–Gunung Pemancing. Hutan lindung ini ditetapkan Kementerian Kehutanan sejak 2003 dengan luas 3.370 hektar.
Berbatasan dengan Dusun Sungai Deras, Desa Sungai Deras, izin lokasi Rezeki Kencana melalui Keputusan Bupati No. 400/07-IL/2002, ditandatangani bupati saat tu, Cornelis Kimha.
Rezeki Kencana luasan 20.000 hektar bruto, terletak di Kecamatan Kubu dan Teluk Pakedai, Kabupaten Pontianak.
Skema perkebunan yang ditawarkan Rezeki Kencana adalah sistem bagi hasil 70:30. Perusahaan memeroleh 70%, dan 30% pemilik lahan.
LinkAr Borneo, lembaga riset dan advokasi lokal dalam isu perburuhan dan pengelolaan sumber daya alam mencatat, kerugian yang dialami perempuan selama bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan sawit.
Project Manager LinkAr Borneo, Bayu Sefdiantoro, mengatakan, mayoritas warga di sekitar perkebunan sawit petani peladang. Komoditi unggulan desa-desa itum kata Bayu, sebenarnya bukan sawit melainkan padi, kelapa, pinang, dan sagu.
Kehadiran korporasi menghadirkan janji-janji seperti pekerjaan, dan kehidupan lebih layak. Kata Bayu, warga diimingi pula dengan tawaran memajukan daerah, dengan membuka akses jalan dan penyediaan listrik. “Yang sebenarnya untuk kepentingan perusahaan juga.”
“Pemilik lahan rela melepaskan tanah, janji mereka hanya tinggal menikmati hasil panen, nyatanya, mereka harus bekerja lagi,” kata Bayu.
LinkAr Borneo pada 2018, khusus riset mengenai buruh perempuan di perkebunan sawit. Lembaga ini melaporkan temuan tentang seorang buruh perempuan terpaksa melahirkan di kebun sawit. Seorang lagi melahirkan dalam perjalanan pulang ke rumah.
“Maka jangan ditanya, hak untuk cuti haid, cuti hamil, jarang bisa mendapatkan itu.”
Apalagi sekarang, katanya, ada UU Cipta Kerja. “Di situ tidak tercatum sama sekali hak-hak perempuan,” kata Bayu.
LinkAr Borneo menggambarkan perempuan yang jadi buruh perkebunan sawit sebagai invisible worker atau buruh siluman.
Mereka sebut begitu lantaran keberadaan mereka tidak terdata. Padahal buruh perempuan mengerjakan sebagian besar pekerjaan berat di perkebunan. Perempuan juga memegang peranan penting dalam setiap tahapan produksi di perkebunan sawit.
“Buruh perempuan di perkebunan sawit tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai, padahal beban kerja berat, serta risiko cukup tinggi,” kata Bayu.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, sekitar 7,6 juta perempuan bekerja di kebun sawit.
Bagaimana respon Gapki? Mufti Huda, Pengurus Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Barat, mengatakan perusahaan akan tetap mengikuti ketentuan perburuhan yang berlaku terkait buruh perempuan.
“Intinya perusahaan (harus) berjalan sesuai regulasi, kalau ada masalah di antara para pihak sudah maka sudah diatur pemerintah melalui wadah tripartite maupun bipartite,” katanya.
Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gapki, menambahkan, selama lima tahun terakhir, Gapki banyak bikin inisiatif bidang tenaga kerja.
“Gapki bekerjasama dengan banyak pihak, banyak serikat pekerja, termasuk dengan ILO (International Labour Organisation).”
Sumarjono berpendapat, buruh perempuan banyak yang tidak mau jadi karyawan tetap karena terikat jam kerja.
“Pekerja lepas membuat buruh perempuan mempunyai keleluasaan waktu, hingga dapat menyesuaikan dengan rutinitas sehari-hari,” katanya.
Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan mengatakan, keberadaan perusahaan sawit, mayoritas mengubah pola produksi masyarakat.
“Di satu desa yang kami dampingi dulu mereka bertani, sekarang tak lagi bertani dan jadi pekerja tidak tetap di kebun sawit. Sekarang mereka bahkan membeli beras untuk kebutuhan sendiri,” katanya.
Saat ini, mereka didorong kembali untuk bertani.
Di Sambas, Gemawan, mendampingi 12 desa. Di sana, mereka membangun kesepahaman dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat, terurama perempuan yang masih setia dengan pilihan lingkungan hidup berkelanjutan.
Kata Laili, soal produksi pangan, berdasarkan data dari gerakan perempuan global, perempuan berkontribusi mencapai hampir 80% dalam produksi pangan, meski yang kembali ke mereka hanya 30-40%.
Realitas pengelolaan alam yang ada masih bersifat maskulin, dan eksploitatif. “Ini berbeda dengan perspektif perempuan yang ingin melanjutkan (pengelolaan lestari).”
Perempuan, katanya, memiliki peran sentral dalam kehidupan, tidak hanya keluarga, perempuan bahkan berperan besar dalam konteks yang lebih luas. Sayangnya, dalam budaya masyarakat patriarkis, peran perempuan seakan hanya di wilayah domestik. Meski begitu, perlahan, kesadaran akan peran penting perempuan secara perlahan mulai bergerak.
Kehadiran korporasi, kerap membuat perempuan kehilangan hak kelola lahan dan akses air bersih, seperti mata air atau sungai. Kalau akses ini terganggu, yang berjuang paling berat adalah perempuan. Kini, para perempuan juga ikut memantau kualitas air sungai sekitar.
Mayoritas yang tergerak untuk ikut memulihkan lahan adalah perempuan. “Realitasnya, yang memainkan peran di kampung adalah ibu-ibu,” kata Laili.
Untuk itu, sangat penting upaya memperkuat kelompok perempuan, terutama mengenai aspek-aspek legalitas dan managemen organisasi perempuan.
Perempuan desa, katanya, sangat penting mendapatkan informasi dan akses terhadap program-program di desa ataupun kabupaten.
Di Sambas, Gemawan telah membentuk kelompok perempuan yang memantau kualitas air, mengelola sampah. Mereka dilatih menyediakan tempat komposter, hingga mendapat pelatihan pembuatan pupuk organik, serta pelatihan penggunaan popok cuci pakai, dan lain-lain. (Bersambung)