Badan Restorasi Gambut (BRG) mengajak para pemuka agama untuk memaksimalkan peran masjid. Langkah itu untuk memberi edukasi dan mengubah perilaku masyarakat.
Pesan tersebut disampaikan Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri saat pembukaan kegiatan Sosialisasi Masjid Peduli Gambut di Desa Temeran, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Myrna menyadari upaya untuk merestorasi gambut perlu kerja sama semua pihak, termasuk tokoh agama dan pengurus masjid. Menurutnya pembakaran lahan gambut kerap dilakukan karena dianggap murah.
“BRG bersama petani telah kembangkan pertanian ramah lingkungan, tanpa bakar di lahan gambut sebagai salah satu solusi permanen pencegahan kebakaran,” ujar Myrna, dalam keterangan terulisnya, Selasa (24/11/2020).
Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di
Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di
Sampai akhir 2019, luas lahan gambut sudah diintervensi BRG 778.181 hektar. Di Riau (93.751), Jambi (86.125), Sumatera Selatan (142.606), Kalimantan Barat (47.521). Lalu, Kalimantan Tengah 399.657 hektar, Kalimantan Selatan (7.421) dan Papua 1.100 hektar. Luas yang difasilitasi BRG 509.709 hektar, dan berkoordinasi dengan mitra 268.472 hektar.
Darmae Nasir, Kepala Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) mengatakan, ,tugas pemulihan gambut oleh BRG dalam lima tahun masih belum bisa selesai. Untuk itu, katanya, perlu waktu agar pemulihan gambut dapat berjalan lebih optimal.
“Karena yang dikerjakan BRG itu kan bukan cuma pemulihan dari biofisik, juga ada aspek manusia, ada sisi humaniora dan ekonomi yang dipulihkan,” katanya saat dihubungi Mongabay, awal September.
Begitu kompleks urusan, hingga BRG masih menginventarisasi permasalahan dan berupaya menemukan metode kerja yang tepat selama lima tahun ini. Belum lagi soal kelembagaan dan koordinasi.
Pada masa perpanjangan, katanya, dia prediksi kerja BRG akan banyak berfokus di tingkat tapak. Dia bilang, salah satu agenda kerja tingkat tapak harus didorong adalah revegetasi yang selalu melibatkan masyarakat lokal.
“Saya kira metode BRG sudah baik dalam hal revegetasi, karena mereka berhasil menerapkan paludiculture di beberapa tempat,” kata Darmae.
Tidak hanya itu, penentuan komoditas yang ditanam pun merupakan perpaduan antara masukan masyarakat dan saran BRG. Perpaduan ini penting, karena di satu sisi jenis yang harus ditanam khas gambut, sisi lain masyarakat menginginkan tanaman yang menghasilkan ekonomi jangka pendek.
Jadi, katanya, kemampuan mengakomodasi antara dua kepentingan ini jadi salah satu keberhasilan. Ia menyasar dua aspek, ekonomi dan pemulihan kawasan. Di kawasan gambut, katanya, merupakan lokasi kemiskinan berada.
“Pertanian areal gambut tidak terlalu produktif, akhirnya itu yang picu kemiskinan dan sebagainya. Itu sebabnya masyarakat butuh sesuatu yang cepat (menghasilkan),” katanya.
Darmae juga menyarankan, peran BRG lebih diperkuat lagi baik secara birokrasi dan regulasi. Dia melihat selama ini ada komunikasi tak berjalan baik antara BRG dengan mitra kerja di level pemerintahan ataupun dengan sektor swasta.
Dengan kementerian atau lembaga lain, dia melihat sinergitas maupun komunikasi berlangsung belum padu. Satu contoh, di lapangan, katanya, seringkali BRG dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selisih paham.
“Misal, BRG sudah sekat salah satu kanal, ternyata tidak jauh dari situ (kementerian) PUPR malah menggali kanal baru. Jadi apa gunanya kerjaan itu?” katanya.
Seharusnya, kata Darmae, hal seperti itu bisa diatasi dengan komunikasi yang baik hingga restorasi gambut bisa berjalan dengan visi sama.