Badan Restorasi Gambut (BRG) melibatkan penyuluh agama guna meningkatkan sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat terkait program restorasi lahan gambut di Tanah Air.
Deputi Edukasi Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri di Jakarta, Rabu 18 November, mengatakan pendekatan agama merupakan bagian penting dalam restorasi gambut, sebab memelihara dan menjaga lingkungan bagian tak terpisahkan dengan agama.
“Pendekatan keagamaan kami pandang sangat penting. Kami memandang restorasi dengan masyarakat dan kebudayaan, selain persoalan teknis,” katanya melalui keterangan tertulis.
Menurut dia, pemuka agama merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan masyarakat, tetapi mereka kerap kekurangan informasi yang lebih kontekstual sesuai masalah yang ada di lingkungannya.
Untuk itu, tambahnya, BRG bersama Kementerian Agama dan Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) menggelar pelatihan bagi penyuluh agama terkait program restorasi gambut selama 16 hingga 26 November 2020. Sejumlah materi bertema agama dan pendekatannya terhadap pelestarian lingkungan, khususnya ekosistem gambut menjadi fokus pelatihan.
Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di
Luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di
Sampai akhir 2019, luas lahan gambut sudah diintervensi BRG 778.181 hektar. Di Riau (93.751), Jambi (86.125), Sumatera Selatan (142.606), Kalimantan Barat (47.521). Lalu, Kalimantan Tengah 399.657 hektar, Kalimantan Selatan (7.421) dan Papua 1.100 hektar. Luas yang difasilitasi BRG 509.709 hektar, dan berkoordinasi dengan mitra 268.472 hektar.
Darmae Nasir, Kepala Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) mengatakan, ,tugas pemulihan gambut oleh BRG dalam lima tahun masih belum bisa selesai. Untuk itu, katanya, perlu waktu agar pemulihan gambut dapat berjalan lebih optimal.
“Karena yang dikerjakan BRG itu kan bukan cuma pemulihan dari biofisik, juga ada aspek manusia, ada sisi humaniora dan ekonomi yang dipulihkan,” katanya saat dihubungi Mongabay, awal September.
Begitu kompleks urusan, hingga BRG masih menginventarisasi permasalahan dan berupaya menemukan metode kerja yang tepat selama lima tahun ini. Belum lagi soal kelembagaan dan koordinasi.
Pada masa perpanjangan, katanya, dia prediksi kerja BRG akan banyak berfokus di tingkat tapak. Dia bilang, salah satu agenda kerja tingkat tapak harus didorong adalah revegetasi yang selalu melibatkan masyarakat lokal.
“Saya kira metode BRG sudah baik dalam hal revegetasi, karena mereka berhasil menerapkan paludiculture di beberapa tempat,” kata Darmae.
Tidak hanya itu, penentuan komoditas yang ditanam pun merupakan perpaduan antara masukan masyarakat dan saran BRG. Perpaduan ini penting, karena di satu sisi jenis yang harus ditanam khas gambut, sisi lain masyarakat menginginkan tanaman yang menghasilkan ekonomi jangka pendek.
Jadi, katanya, kemampuan mengakomodasi antara dua kepentingan ini jadi salah satu keberhasilan. Ia menyasar dua aspek, ekonomi dan pemulihan kawasan. Di kawasan gambut, katanya, merupakan lokasi kemiskinan berada.
“Pertanian areal gambut tidak terlalu produktif, akhirnya itu yang picu kemiskinan dan sebagainya. Itu sebabnya masyarakat butuh sesuatu yang cepat (menghasilkan),” katanya.
Darmae juga menyarankan, peran BRG lebih diperkuat lagi baik secara birokrasi dan regulasi. Dia melihat selama ini ada komunikasi tak berjalan baik antara BRG dengan mitra kerja di level pemerintahan ataupun dengan sektor swasta.
Dengan kementerian atau lembaga lain, dia melihat sinergitas maupun komunikasi berlangsung belum padu. Satu contoh, di lapangan, katanya, seringkali BRG dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selisih paham.
“Misal, BRG sudah sekat salah satu kanal, ternyata tidak jauh dari situ (kementerian) PUPR malah menggali kanal baru. Jadi apa gunanya kerjaan itu?” katanya.
Seharusnya, kata Darmae, hal seperti itu bisa diatasi dengan komunikasi yang baik hingga restorasi gambut bisa berjalan dengan visi sama.